Senin, 12 Agustus 2013

Pembatalan Perkawinan Pertama di Indonesia



PEMBATALAN PERKAWINAN di  PN. TEGAL

Romie (bukan nama sebenarnya) telah melangsungkan perkawinan dengan Juliet (bukan nama sebenarnya) sebagaimana kutipan Akta Perkawinan No. 69/1988 tertanggal 3 Nopember 1988 yang dikeluarkan oeh Kepala Kantor Catatan Sipil/ Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Tegal.

Sebelum perkawinan dicatat pada Kantor Catatan Sipil/ Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Tegal, perkawinan antara Romie (30 tahun) dengan Juliet (22 tahun) telah dilangsungkan menurut hukum agama kristen di Gereja GKI dan dihadiri oleh orang tua dari Romie dan orang tua dari Juliet.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, diatur bahwa :

  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Selain telah memenuhi Pasal 2, perkawinan antara Romie dengan Juliet, telah memenuhi syarat syarat perkawinan yang terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
  4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
  5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
  6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Dan telah sesuai juga dengan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :

  1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
  2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
  3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Dalam perkawinan antara Romie dengan Juliet, telah dkaruniai 2 (dua) orang anak yaitu :

  • Anak laki-laki, yang lahir di Semarang pada tanggal 02 September 1989 sebagaimana tercantum di dalam kutipan Akta Kelahiran No. 957/1989 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil / Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Kota Semarang :
  • Anak perempuan, yang lahir di Semarang pada tanggal 19 Februari 1992 sebagaimana tercantum di dalam kutipan Akta Kelahiran No. 189/1992 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil / Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Kota Semarang ;

 Pada tanggal 06 Agustus 2012, kedua orang tua dari Juliet, yang beralamat di Jalan Gajahmada, Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, mendaftarkan Gugatan Pembatalan Perkawinan antara Romie dengan Juliet pada Pengadilan Negeri Tegal, dengan alasan sbb :

  1. Bahwa sejak tahun 2010 Juliet menderita sakit sehingga harus dirawat di National Heart Centre  Hospital Avenue Singapura;
  2. Bahwa tujuan Romie menikah dengan Juliet bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 karena tujuan Romie menikah dengan Juliet adalah untuk memiliki dan menguasai harta Juliet dan keluarganya;
  3. Bahwa selama perkawinan, Romie tidak penah bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan Juliet dan kedua anaknya, sehingga Juliet harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi rumah tangganya dengan bekerja di Perusahaan Orang Tua Juliet  yang bergerak dibidang Pembuatan Shuttlecock.
  4. Bahwa Romie berusaha berbuat curang dengan cara memproduksi bahan dan shuttlecock sendiri dengan menjiplak mesin milik Perusahaan Orang Tua Juliet dan sekaligus Romie juga menjadi pemasok kepala Shuttlecock gabus dan bahan baku lainnya di perusahaan Orang Tua Juliet, juga ternasuk membajak beberapa tenaga ahli yang bekerja di Perusahaan Orang Tua Juliet untuk bekerja kepada Romie. Untuk dapat memasok lem dan kepala shuttlecock gabus secara banyak supaya Romie diuntungkan, maka Romie menimbun bahan kimia sebagai bahan pembuatan lem shuttlecock di rumah tingal Romie dan Juliet.
  5. Bahwa Juliet yang secara perlahan-lahn menghirup bau-bauan bahan kimia tersebut membuat Juliet mulai sakit-sakitan.
  6. Bahwa Romie telah punya teman dekat wanita orang Singapura yaitu janda cantik sekali dan kaya raya. 
  7. Bahwa selama Juliet dirawat, Romie tidak pernah berusaha untuk membantu biaya pengobatan istrinya tersebut
  8. Bahwa pada akhirnya saat sampai di Indoesia Romie bukannya berusaha memperhatikan keadaan Juliet tetapi malah secara diam-diam mencairkan deposito dan menarik semua tabungan Juliet untuk kepentingan pribadinya berfoya-foya bukan sebaliknya untuk membiayai biaya pengobatan Juliet selama di Indonesia. 
  9. Bahwa Romie masih mengambil barang barang berharga milik Juliet dan berusaha merampas satu satunya mobil yang seharusnya dipergunakan untuk keperluan Juliet dan perawatnya berobat di Jakarta;
  10. Bahwa tujuan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 1 Undang Undang No 1 tahun 1974 tidak terpenuhi karena Romie telah nyata menikah dengan Juliet dengan tujuan untuk menguasai harta benda milik Juliet dan keluarganya. 
  11. Bahwa selama masa perawinan pun Romie juga tidak menjalakan kewajibannya selaku suami yang baik dimana Juliet selaku isteri Romie yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, termasuk pada saat Juliet sakit selama 2,5 (dua setengah) tahun lebih Romie sama sekali tidak mengeluarkan biaya untuk merawat isterinya  dan anak-anaknya. 
  12. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas demi menyelamatkan Juliet serta menyelamatkan sisa harta Juliet yang masih ada untuk dipergunakan membiayai pengobatan Juliet dan biaya hidup kedua anaknya, tiada jalan lain bagi Orang Tua Juliet uuk mengajukan gugatan pembatalan perkawinan ini.

 Bahwa, sebagaimana dilihat dari gugatan Orang Tua Juliet bahwa „alasan-alasan pembatalan perkawinan“ yang didalilkan Orang Tua Juliet, antara lain adalah :


  • bahwa tujuan Romie menikah dengan Juliet adalah  untuk memiliki dan menguasai harta Juliet dan keluarganya;
  • Romie tidak pernah bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan Juliet dan kedua anaknya;
  • Romie menyimpan lem yang mengandung kimia yang tidak baik bagi kesehatan, yang kemudian dicurigai sebagai penyebab sakitnya  Juliet;
  • Romie yang seharusnya menjadi suami Juliet yang baik selalu menjaga mendampingi Juliet selama masa pengobatan tetapi tidak dilakukan oleh Romie;
  • Romie telah punya teman dekat wanita orang Singapura yaitu seorang janda cantik sekali dan kaya raya;


Apakah pembatalan perkawinan dengan alasan tersebut diatas, diperbolehkan ?

Bahwa, „alasan-alasan pembatalan perkawinan“yang diajukan oleh Orang Tua Juliet tersebut sangat berbeda dengan alasan yang ditentukan dalam Pasal 26 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, dalam arti bahwa alasan-alasan yang dikemukakan Orang Tua Juliet tersebut berada di luar konteks „alasan gugatan pembatalan perkawinan“;

Bahwa, oleh karena „alasan-alasan pembatalan perkawinan“  yang didalilkan oleh Orang Tua Juliet tersebut tidak sesuai atau berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 26 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, maka jelaslah bahwa Orang Tua Juliet selaku orangtua (para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas) dari Juliet, tidak berwenang, tidak berhak dan tidak berkwalitas untuk mengajukan gugatan pembatalan perkawinan Romie dengan Juliet;

Bahwa, berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 gugatan pembatalan oleh seorang istri (atau suami) atas alasan yang disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) gugur apabila telah menjalani hidup bersama sebagai suami istri (ic.Romie dan Juliet telah berlangsung selama lebih kurang 24 tahun);

Bahwa, gugatan pembatalan oleh seorang istri (atau suami) hanya dapat diajukan dengan alasan-alasan yang secara eksplisit ditentukan di dalam Pasal 27 UU No.1 Tahun 1974, yang pada pokoknya menentukan : bahwa permintaan pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh istri (atau suami) hanya dengan alasan bahwa perkawinan dilangsungkan „di bawah ancaman“ dan atau  „salah sangka“;

Bahwa, perkawinan Romie dan Juliet sudah berlangsung selama kurang lebih 24 tahun, hidup rukun, bahagia dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak : Laki-laki (23 tahun) dan Perempuan (20 tahun);

Bahwa, andaikata, sekali lagi, andaikata, ada alasan pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU No.1 Tahun 1974 –quod non-, mengapa gugatan ini “baru” diajukan pada saat istri Romie (Juliet) sakit permanen, mengapa tidak diajukan pada saat istri Romie masih dalam keadaan sehat;

Bahwa, andaikata alasan pengajuan pembatalan perkawinan ini adalah karena adanya “ancaman” atau “salah sangka” mengenai diri si suami  atau si isteri -quod non-, maka gugatan ini jelas telah kadaluarsa karena hak untuk mengajukan permintaan pembatalan perkawinan  gugur setelah 6 (enam) bulan (Vide : Pasal 27 ayat (3) UU No.1 tahun 1974);

Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :

  1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau isteri;
  2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

 Adapun Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ;

  1.  Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
  2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
  3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur;

Pengadilan dapat membatalkan perkawinan atas permohonan pihak-pihak yang diberi hak oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk mengajukan permohonan pembatalan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan juga oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam ketentuan Pasal 23 UU No.1 Tahun 1974, diatur tentang “siapa” yang dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yaitu para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri, suami atau isteri dan pejabat tertentu. 

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, bahwa subjek hukum „para keluarga dalam garis lurus ke atas“, mempunyai kewenangan/hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan hanya dengan alasan bahwa perkawinan yang dimohon untuk dibatalkan telah  „dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang“, „wali nikah tidak sah“ atau „dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi“;

Sedangkan, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, bahwa subjek hukum suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dan atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri

Tentang ketentuan daluarsa pengajuan pembatalan perkawinan yang dapat dilakukan oleh suami atau isteri, dengan tegas dan eksplisit telah ditentukan Pasal 27 ayat (3) UU No.1 Tahun 1974, yang selengkapnya berbunyi : “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”;

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa PN. Tegal tidak diperbolehkan untuk membatalkan perkawinan Romie dengan Juliet karena alasan pembatalan yang didalilkan penggugat adalah tidak sesuai dengan undang-undang dan penggugat sendiri tidak mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan dengan menggunakan alasan tersebut. 


Ditulis oleh Robert Paruhum Siahaan SH selaku kuasa hukum dari Romie