Senin, 29 Juli 2013

Pembatalan Perkawinan tidak diperbolehkan kecuali ..............



PEMBATALAN PERKAWINAN

Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Agama dan Hukum Nasional Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, disebutkan bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur bahwa :

1.        Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

2.        Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila dicermati, aturan yang tertuang pada pasal 2 ayat (2) bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, karena perkawinan dianggap sah apabila hukum agamanya dan kepercayaannya sudah menentukan sah.

Namun, apabila dilihat pada bagian penjelasan umum dari Undang-Undang Perkawinan tersebut yang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, dan disamping itu perkawinan harus dicatat yang merupakan syarat diakui atau tidaknya perkawinan oleh negara.

K. Watjik Saleh berpendapat :
“Maksud untuk melangsungkan perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam hal salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan mendaftarkan diri terlebih dahulu, maksudnya agar lebih mengetahui dengan jelas identitas dirinya.

Bukti yang menerangkan identitas dirinya adalah kartu tanda Penduduk (KTP) dan surat yang diminta dari Kepala Desa atau Kantor Kelurahan setempat dimana perkawinan akan dilaksanakan dan apabila para calon akan melaksanakan perkawinan di luar daerah, maka orang tuanya akan diminta hadir untuk memberikan keterangan dari mereka-mereka yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

Bila dicermati, adanya kewajiban suatu perkawinan yang akan dilaksanakan dengan menggunakan surat keterangan tentang status diri sebenarnya merupakan aplikasi dari adanya pelaksanaan salah satu syarat dari sebuah perkawinan. Surat keterangan berkaitan dengan pribadi masing masing calon. Menjadi sebuah persoalan tersendiri bila surat keterangan yang digunakan adalah tidak benar, baik dari cara memperoleh maupun isi yang tertuang.

Adanya perbedaan fakta antara yang tertera pada surat keterangan dengan yang ada pada kenyataan merupakan bentuk tidak terpenuhinya syarat perkawinan yang dapat merugikan pihak yang lain. Bila dicermati lebih lanjut keberadaan surat keterangan ini dan identitas diri berkaitan dengan masalah persetujuan kedua calon mempelai yang merupakan syarat perkawinan. Persetujuan kedua calon mempelai dalam sebuah perkawinan di Indonesia sangat penting karena merupakan salah satu syarat utama. Namun dalam prakteknya setelah terpenuhi syarat utama tersebut, syarat maupun rukun perkawinan lain yang juga sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga akhirnya tidak menutup kemungkinan perkawinannya dibatalkan.

Namun, sebelum sampai kepada peristiwa pembatalan perkawinan, masih ada upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mencegah perkawinan sebelum perkawinan dilaksanakan. Kesempatan ini dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk mencegah perkawinan apabila ditemukan bahwa ada  identitas diri para calon akan melaksanakan perkawinan yang tidak benar.

Dalam Bab III, Pasal 13 s/d Pasal 21 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur tentang ketentuan Pencegahan Perkawinan.  Bila identitas diri calon suami atau isteri ada yang tidak benar atau adanya syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka terdapat kesempatan untuk mencegah perkawinan.


Syarat syarat perkawinan terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, yaitu:

1.     Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2.     Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3.  Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4.   Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5.     Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6.   Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sedangkan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :

1.     Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

2.   Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3.     Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :

1.  Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau isteri;
2.  Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Adapun Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ;

1.  Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2.  Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.   Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur;
Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan (yang sebenarnya bisa dicegah) itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Jika ini terjadi maka Pengadilan dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang diberi hak oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk mengajukan permohonan pembatalan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan juga oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Secara sederhana ada dua sebab suatu perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan.

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal isteri, suami atau isteri. (Pasal 38 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).

Dalam ketentuan Pasal 23 UU No.1 Tahun 1974, diatur tentang “siapa” yang dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yaitu para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri, suami atau isteri dan pejabat tertentu. 

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, bahwa subjek hukum „para keluarga dalam garis lurus ke atas“, mempunyai kewenangan/hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan hanya dengan alasan bahwa perkawinan yang dimohon untuk dibatalkan telah  „dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang“, „wali nikah tidak sah“ atau „dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi“;

Sedangkan, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, bahwa subjek hukum suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dan atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri

Tentang ketentuan daluarsa pengajuan pembatalan perkawinan yang dapat dilakukan oleh suami atau isteri, dengan tegas dan eksplisit telah ditentukan Pasal 27 ayat (3) UU No.1 Tahun 1974, yang selengkapnya berbunyi : “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, siapapun tidak diperbolehkan untuk membatalan suatu perkawinan kecuali telah sesuai dengan ketentuan UU No.1 Tahun 1974.

Ditulis oleh Robert Paruhum Siahaan SH.



Kamis, 18 Juli 2013

BPN digugat Fiktif Negatif di PTUN






Perihal  Gugatan Fiktif Negatif

Jakarta,  24 Juni 2013

Kepada Yth.

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung
di
  Jl. Diponegoro No.34, Bandung 40115


Dengan hormat,

Yang tersebut di bawah ini, adalah :

Drs. Maruap Siahaan, kewarganegaraan Indonesia, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di Cawang II/26 RT.001 / RW. 010, Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Kotamadya Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta.

Untuk selanjutnya dalam gugatan ini disebut sebagai : ---------- PENGGUGAT;

Dengan ini Penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap:

Nama jabatan                :  Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor
Tempat kedudukan      :  Jl. Tegar Beriman, Cibinong, Kab. Bogor.

Untuk selanjutnya dalam gugatan ini disebut sebagai : ----------- TERGUGAT;

OBYEK GUGATAN:

Keputusan Tata usaha Negara yang bersifat Fiktif Negatif berupa penolakan Tergugat (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor) untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah milik adat Girik C No. 3608 Persil 108 D.I., atas nama Penggugat (Drs. Maruap Siahaan), seluas 3.100 M2, yang terletak di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, sesuai dengan permohonan sertifikat hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor pada tanggal 13 Juli 2009, sebagaimana termuat dalam Tanda Terima Dokumen Nomor Berkas Permohonan 38085/2009 tertanggal 13 Juli 2009.

DASAR  DAN  ALASAN  GUGATAN  :

Adapun yang menjadi dasar/alasan gugatan ini adalah sebagai berikut :

1.         Bahwa, pada tanggal 28 April 2009, Penggugat membeli sebidang tanah milik adat yaitu Girik C No. 3608 Persil 108 D.I, seluas 3.100 M2, yang terletak di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dari Sdr. Darwih selaku pemilik tanah, berdasarkan Akte Jual Beli No.1880/2009 yang dibuat oleh Miranti Tresnaning Timur SH., yang bertindak selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat sebagai Pejabat berdasarkan Surat Keputusan  Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5-XI-1996 pada tanggal 03 Juni 1996.

Adapun batas-batas tanah milik adat tersebut adalah:
-   sebelah utara                           :  tanah milik Rosad
-   sebelah timur                           :  jalan desa
-   sebelah selatan                        :  tanah milik Armini Lapoliwa
-   sebelah barat                           :  tanah milik Armini Lapoliwa

Untuk selanjutnya dalam gugatan ini disebut sebagai --------------TANAH GIRIK.

2.         Bahwa, yang menjadi saksi dalam Akte Jual Beli No.1880/2009 tersebut adalah HMU Saefullah SE selaku Kepala Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Zaini Zaanwar selaku Staf Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, yang pada waktu itu, kedua saksi tersebut merupakan Pejabat pemerintahan setempat yang masih aktif.

3.         Bahwa, sebelum Penggugat membeli tanah girik, Sdr. Darwih sudah terlebih dahulu mempunyai bukti tanah milik adat atas namanya sendiri berupa Girik C No. 3608 Persil 108 D.I, seluas 3.100 M2, yang terletak di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, yang dikeluarkan oleh Pejabat pemerintahan setempat.

4.         Bahwa, setelah Penggugat membeli tanah girik dari Sdr. Darwih,  Pejabat pemerintahan setempat telah membuat balik nama tanah milik adat Girik C No. 3608 Persil 108 D.I, seluas 3.100 M2, yang terletak di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat  menjadi atas nama Penggugat.

5.         Bahwa, pada tahun 2009, Penggugat mengajukan Permohonan Sertifikat Hak Milik kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, atas tanah girik yaitu tanah Girik C No. 3608 Persil 108 D.I, seluas 3.100 M2, yang terletak di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, sebagaimana termuat dalam Tanda Terima Dokumen Nomor Berkas Permohonan 38085/2009 tertanggal 13 Juli 2009.

6.         Bahwa, pada tanggal 15 Juli 2009, Penggugat membayar biaya pengukuran tanah girik sebesar yang ditetapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor yaitu Rp.580.500,- dan mendapat tanda bukti pembayaran No. DI. 306  :  37854/2009 tertanggal 15 Juli 2009.

Dalam kotak paling bawah sebelah kiri tanda bukti pembayaran No. DI. 306  :  37854/2009, tertulis :

Perhatiaan !!!

Kwitansi ini jangan hilang, harap dibawa pada saat pengambilan Sertipikat.

7.         Bahwa, pada tanggal 17 Juli 2009, telah dilakukan pengukuran terhadap tanah girik oleh Ahmad Wirawan SE dan Erna Sarmawijaya selaku pertugas dari Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor serta dihadiri oleh Penggugat, sesuai dengan surat tugas pengukuran Nomor 4489/2009 tertanggal 17 Juli 2009.

8.         Bahwa, Penggugat selaku pemilik tanah girik dan yang menguasai secara fisik tanah girik, selalu setia membayar Pajak Bumi dan Bangunan, antara lain PBB tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 dengan Nomor SPPT 32.03.220.006.008-0017.0.

9.         Bahwa, oleh karena tidak pernah ada jawaban dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor terhadap Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat, Penggugat memberi kuasa khusus kepada Bapak Robert Paruhum Siahaan SH., Advokat dari Paruhum & Par-Uhum Law Firm, Jalan Melati Indah Blok HJ No.23, Harapan Indah, Kel. Pejuang, Medan Satria, Bekasi 17131, pada tanggal 25 Februari 2013, untuk mengurus kelanjutan Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat.

10.     Bahwa, pada tanggal 27 Februari 2013, Bapak Robert Paruhum Siahaan SH mengirimkan surat yang pertama dengan No. Srt.123/PPLF/II/2013 kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk menanyakan tindak lanjut dari Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat.

11.     Bahwa, pada tanggal 06 Maret 2013, Bapak Robert Paruhum Siahaan SH menemui Bapak Fauzi BE, Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk menanyakan jawaban suratnya tanggal 27 Februari 2013 di atas, namun Bapak Fauzi BE bukannya memberikan jawaban surat dimaksud tetapi memberikan Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 perihal Konfirmasi Status Tanah. 
Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 baru Penggugat terima setelah Bapak Robert Paruhum Siahaan SH menemui Bapak Fauzi BE.

12.     Bahwa, Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 perihal Konfirmasi Status Tanah tersebut, hanya merupakan tipu muslihat Tergugat terhadap Penggugat, yang tidak memahami permasalahan hukum secara mendalam, dengan alasan sbb :

-          Bahwa, Tergugat sengaja mengeluarkan surat pada tanggal 7 Oktober 2009, yang menyebutkan bahwa bidang tanah girik DIDUGA berada pada areal Tanah Negara dan harus diadakan penelitian lebih lanjut, dengan maksud dan tujuan untuk mengantungkan status tanah girik kepada suatu keadaan tertentu agar dapat menunda-nunda keputusan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, apakah menerbitkan atau menolak Permohonan Sertifikat Hak Milik yang diajukan Penggugat.

-          Bahwa, dengan menyebutkan bahwa bidang tanah girik DIDUGA berada pada areal Tanah Negara dan harus diadakan penelitian lebih lanjut, memberi ruang waktu bagi Tergugat untuk menunda-nunda menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik karena untuk penelitian lebih lanjut diperlukan waktu yang tidak terbatas.

-          Bahwa, Tergugat tidak pernah menyerahkan Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 perihal Konfirmasi Status Tanah tersebut kepada Penggugat, dengan maksud agar Penggugat tidak mengetahui hasil dari Permohonan Sertifikat Hak Milik yang diajukan Penggugat.

13.     Bahwa, untuk mendapatkan kepastian atas DUGAAN dan penelitian lebih lanjut tersebut, pada tanggal 19 Maret 2013 Bapak Robert Paruhum Siahaan SH mengirimkan surat yang kedua dengan No. Srt.134/PPLF/III/2013 kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.

14.     Bahwa, oleh karena kedua surat Bapak Robert Paruhum Siahaan SH terdahulu tidak dijawab, maka pada tanggal 24 Mei 2013, Bapak Robert Paruhum Siahaan SH mengirimkan surat yang ketiga dengan No. Srt.152/PPLF/V/2013 kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk meminta kepastian atas Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat.

15.     Bahwa, selanjutnya pada tanggal 24 Mei 2013 itu juga, Bapak Robert Paruhum Siahaan SH (dengan ditemani Bapak Alfian) menemui Bapak Fauzi BE, Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk menanyakan status Permohonan Sertifikat Hak Milik yang diajukan Penggugat atas tanah girik dan Bapak Robert Paruhum Siahaan SH mendapat jawab lisan sbb :
 
-          bahwa tanah girik adalah tanah negara, kalaupun dalam surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 digunakan kata diduga itu adalah bahasa/ungkapan yang paling halus

-          bahwa tanpa sadar tercetus kata dari mulut Bapak Fauzi BE bahwa tanah girik adalah milik sentul city

-          bahwa Bapak Fauzi BE berjanji akan menjawab surat Bapak Robert Paruhum Siahaan SH secara tertulis

16.     Bahwa, hingga gugatan ini Penggugat ajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor tidak pernah memberikan jawaban sama sekali terhadap surat Bapak Robert Paruhum Siahaan SH, sehingga Penggugat berpendapat sbb :

-          Bahwa, Tergugat sengaja tidak mau memberikan jawaban tertulis agar Permohonan Sertifikat Hak Milik yang diajukan Penggugat atas tanah girik terus tertunda .

-          Bahwa, Tergugat tidak merasa bersalah karena keadaanlah yang membuat Tergugat tidak pernah menerbitkan Sertifikat Hak Milik  atas tanah girik dan tidak pernah menolak menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik.

-          Bahwa, Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 perihal Konfirmasi Status Tanah, yang menyebutkan bahwa bidang tanah girik DIDUGA berada pada areal Tanah Negara dan harus diadakan penelitian lebih lanjut, perlu di uji kebenarannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

-          Bahwa, tindakan Tergugat yang tidak memberikan jawaban tertulis atas surat Bapak Robert Paruhum Siahaan SH yang meminta kepastian atas Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat, merupakan PENOLAKAN DARI TERGUGAT untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik.

17.     Bahwa, tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor yang tidak menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik dan membiarkan permasalahan ini mengambang, jelas-jelas sangat merugikan Penggugat yang telah membeli tanah girik seharga Rp. 111.600.000,- (seratus sebelas juta enam ratus ribu rupiah) dari Sdr. Darwih dan Penggugat tidak bisa menggunakan tanah girik untuk keperluan usaha.
 
18.     Bahwa, tindakan Tergugat yang tidak menerbitkan Sertifikat Hak Milik  atas tanah girik dan membiarkan status tanah girik mengambang adalah merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor : 9 tahun 2004 sehingga menimbulkan akibat kerugian bagi Penggugat.

19.     Bahwa, karena tindakan Tergugat tidak menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik maka menurut hukum Sertifikat Hak Milik atas tanah girik tersebut harus diterbitkan.

20.     Bahwa, gugatan ini diajukan kepada Pengadilan tata Usaha Negara yang berwenang, yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat dan masih dalam tenggang waktu yang diperkenankan oleh undang-undang, dengan alasan sbb:

-          Bahwa, Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 baru Penggugat terima pada tanggal 06 Maret 2013, setelah Bapak Robert Paruhum Siahaan SH menemui Bapak Fauzi BE.

-          Bahwa, oleh karena jawaban dari Bapak Fauzi BE, selaku Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan, Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor pada tanggal 06 Maret 2013, tidak memberi solusi penyelesaian masalah, sementara dalam Surat Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 210-2516 tertanggal 7 Oktober 2009 disebutkan bahwa untuk konfirmasi diberi waktu paling lambat 2 (dua) minggu setelah surat di terima maka pada tanggal 19 Maret 2013 Bapak Robert Paruhum Siahaan SH mengirimkan surat No. Srt.134/PPLF/III/2013 kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk mendapatkan kepastian atas DUGAAN dan penelitian lebih lanjut terhadap tanah girik tersebut.

-          Bahwa, pada tanggal 24 Mei 2013, Bapak Robert Paruhum Siahaan SH, sekali lagi  meminta kepastian atas Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat melalui surat No. Srt.152/PPLF/V/2013 kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor  karena kedua surat Bapak Robert Paruhum Siahaan SH terdahulu tidak dijawab Tergugat.

-          Bahwa, tindakan Tergugat yang tidak memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan Bapak Robert Paruhum Siahaan SH yang meminta kepastian atas Permohonan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik yang diajukan Penggugat, merupakan PENOLAKAN DARI TERGUGAT untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas tanah girik.

21.     Bahwa berdasarkan alasan-alasan serta segala uraian tersebut di atas, dengan disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, sesuai dengan asas kepatutan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan tata Usaha Negara Bandung untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :

1.         Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2.         Menyatakan keputusan penolakan menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat, atas tanah milik adat Girik C No. 3608 Persil 108 D.I.,  oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor adalah tidak sah dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

3.         Mewajibkan Tergugat untuk memproses penerbitan Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat, atas tanah milik adat Girik C No. 3608 Persil 108 D.I., seluas 3.100 M2, yang terletak di Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, sesuai dengan permohonan sertifikat hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor pada tanggal 13 Juli 2009, sebagaimana termuat dalam Tanda Terima Dokumen Nomor Berkas Permohonan 38085/2009 tertanggal 13 Juli 2009, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

4.         Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini.



Hormat kami,
Penggugat




Drs. Maruap Siahaan