Senin, 29 Juli 2013

Pembatalan Perkawinan tidak diperbolehkan kecuali ..............



PEMBATALAN PERKAWINAN

Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Agama dan Hukum Nasional Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, disebutkan bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur bahwa :

1.        Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

2.        Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila dicermati, aturan yang tertuang pada pasal 2 ayat (2) bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, karena perkawinan dianggap sah apabila hukum agamanya dan kepercayaannya sudah menentukan sah.

Namun, apabila dilihat pada bagian penjelasan umum dari Undang-Undang Perkawinan tersebut yang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, dan disamping itu perkawinan harus dicatat yang merupakan syarat diakui atau tidaknya perkawinan oleh negara.

K. Watjik Saleh berpendapat :
“Maksud untuk melangsungkan perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam hal salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan mendaftarkan diri terlebih dahulu, maksudnya agar lebih mengetahui dengan jelas identitas dirinya.

Bukti yang menerangkan identitas dirinya adalah kartu tanda Penduduk (KTP) dan surat yang diminta dari Kepala Desa atau Kantor Kelurahan setempat dimana perkawinan akan dilaksanakan dan apabila para calon akan melaksanakan perkawinan di luar daerah, maka orang tuanya akan diminta hadir untuk memberikan keterangan dari mereka-mereka yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

Bila dicermati, adanya kewajiban suatu perkawinan yang akan dilaksanakan dengan menggunakan surat keterangan tentang status diri sebenarnya merupakan aplikasi dari adanya pelaksanaan salah satu syarat dari sebuah perkawinan. Surat keterangan berkaitan dengan pribadi masing masing calon. Menjadi sebuah persoalan tersendiri bila surat keterangan yang digunakan adalah tidak benar, baik dari cara memperoleh maupun isi yang tertuang.

Adanya perbedaan fakta antara yang tertera pada surat keterangan dengan yang ada pada kenyataan merupakan bentuk tidak terpenuhinya syarat perkawinan yang dapat merugikan pihak yang lain. Bila dicermati lebih lanjut keberadaan surat keterangan ini dan identitas diri berkaitan dengan masalah persetujuan kedua calon mempelai yang merupakan syarat perkawinan. Persetujuan kedua calon mempelai dalam sebuah perkawinan di Indonesia sangat penting karena merupakan salah satu syarat utama. Namun dalam prakteknya setelah terpenuhi syarat utama tersebut, syarat maupun rukun perkawinan lain yang juga sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga akhirnya tidak menutup kemungkinan perkawinannya dibatalkan.

Namun, sebelum sampai kepada peristiwa pembatalan perkawinan, masih ada upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mencegah perkawinan sebelum perkawinan dilaksanakan. Kesempatan ini dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk mencegah perkawinan apabila ditemukan bahwa ada  identitas diri para calon akan melaksanakan perkawinan yang tidak benar.

Dalam Bab III, Pasal 13 s/d Pasal 21 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur tentang ketentuan Pencegahan Perkawinan.  Bila identitas diri calon suami atau isteri ada yang tidak benar atau adanya syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka terdapat kesempatan untuk mencegah perkawinan.


Syarat syarat perkawinan terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, yaitu:

1.     Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2.     Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3.  Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4.   Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5.     Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6.   Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sedangkan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :

1.     Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

2.   Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3.     Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :

1.  Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau isteri;
2.  Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Adapun Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ;

1.  Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2.  Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.   Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur;
Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan (yang sebenarnya bisa dicegah) itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Jika ini terjadi maka Pengadilan dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang diberi hak oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk mengajukan permohonan pembatalan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan juga oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Secara sederhana ada dua sebab suatu perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan.

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal isteri, suami atau isteri. (Pasal 38 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).

Dalam ketentuan Pasal 23 UU No.1 Tahun 1974, diatur tentang “siapa” yang dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yaitu para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri, suami atau isteri dan pejabat tertentu. 

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, bahwa subjek hukum „para keluarga dalam garis lurus ke atas“, mempunyai kewenangan/hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan hanya dengan alasan bahwa perkawinan yang dimohon untuk dibatalkan telah  „dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang“, „wali nikah tidak sah“ atau „dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi“;

Sedangkan, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, bahwa subjek hukum suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dan atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri

Tentang ketentuan daluarsa pengajuan pembatalan perkawinan yang dapat dilakukan oleh suami atau isteri, dengan tegas dan eksplisit telah ditentukan Pasal 27 ayat (3) UU No.1 Tahun 1974, yang selengkapnya berbunyi : “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, siapapun tidak diperbolehkan untuk membatalan suatu perkawinan kecuali telah sesuai dengan ketentuan UU No.1 Tahun 1974.

Ditulis oleh Robert Paruhum Siahaan SH.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar