Perkara No.91/PUU-XII/2014
Setelah Perbaikan
Perihal : Permohonan
Pengujian Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN
1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta,
16 Oktober 2014.
Kepada Yth,
Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi
di –
Jakarta
Dengan hormat,
Bersama ini perkenankanlah
kami, Dwi Hertanty,
Ibu rumah tangga, beralamat di
Cluster Emerald Garden Blok H 20, Bintaro, RT 003 / RW 002, Kelurahan Parigi, Kecamatan Pondok Aren, Kotamadya Tangerang Selatan, selaku Terdakwa dalam Perkara Pengadilan Tinggi Jakarta No.158/PID/2014/PT.DKI jo.
No.150/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Sel, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Agustus 2014 memberi
kuasa kepada Surya Bakti Batubara, SH. MM., Palti Hutagaol, SH. dan Robert Paruhum
Siahaan, SH., seluruhnya
para Advokat, dari Kantor SURYA
BATUBARA & ASSOCIATES LAW FIRM, berkantor di Wisma Intra Asia Gedung
Annex 1 Lt. 2, Jl. Prof. DR. Soepomo, SH No.58, Kotamadya Jakarta Selatan,
Provinsi DKI Jakarta, 12870, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk
dan atas nama pemberi kuasa :
Selanjutnya
disebut sebagai ---------------------------------------------------------------
Pemohon;
Dengan ini mengajukan Permohonan
Pengujian Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sebagai
berikut :
I.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa, sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK), salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan:
”Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ……………………......”;
Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (1) huruf a UUMK antara lain
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk :
a.
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”;
2. Bahwa, selain itu, Pasal 7 ayat (1) dan Pasal
9 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih
tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang
yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui Mahkamah Konstitusi;
3. Bahwa, meskipun
Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
menyatakan ”Terhadap materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali”, namun apabila terdapat alasan maupun batu
uji yang berbeda perkara tersebut masih dapat diuji kembali sebagaimana praktek
dan yurisprudensi Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi selama ini;
4. Bahwa,
Permohonan uji materil atas Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, yang diajukan kali ini berbeda dengan Permohonan uji
materil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG yang pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebelumnya,
dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Berdasarkan
catatan Pemohon, setidaknya terdapat 7 (tujuh) Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, yaitu :
a.1. Perkara Nomor
067/PUU-II/2004, yang
menguji Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG;
a.2. Perkara Nomor 017/PUU-III/2005, yang menguji Pasal 11
ayat 1, Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 13 ayat (1), (2) dan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
a.3. Perkara Nomor 007/PUU-IV/2006, yang menguji Pasal 32
ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), (2),
Pasal 13 ayat (1), (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
a.4. Perkara Nomor 23/PUU-V/2007, yang menguji Pasal 45A ayat (2)
huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
a.5. Perkara Nomor 28/PUU-X/2012, yang menguji Pasal 45A ayat (2)
huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
a.6. Perkara Nomor 42/PUU-XI/2013, yang menguji Pasal (1), Pasal 32
ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG;
a.7. Perkara Nomor 45/PUU-XII/2014, yang menguji Pasal 45A ayat (1)
dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
b. Bahwa, dari
perkara-perkara tersebut di atas, tidak ada satupun yang menguji Pasal 45A
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
c. Bahwa
Permohonan Pemohon kali ini memiliki perbedaan mendasar dengan Perkara tersebut
diatas dan belum pernah di uji oleh Mahkamah Konstitusi;
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa
dan memutus Permohonan Pengujian Undang-Undang ini.;
II.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON.
5. Bahwa, Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) Nomor 3674034203850005;
6. Bahwa, Pemohon adalah Terdakwa, warga negara Indonesia dan telah divonis dalam Perkara Pengadilan Tinggi Jakarta No.158/PID/2014/PT.DKI jo. No.150/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Sel,
namun tidak diperbolehkan mengajukan Kasasi, sehingga dirugikan
oleh berlakunya ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
Bahwa, adanya
frasa “perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, menyebabkan
Pemohon tidak dapat mengajukan Kasasi, yang tentu saja telah melanggar hak
azasi Pemohon, yakni hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sehingga
menimbulkan kerugian atas hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945;
7. Bahwa,
selengkapnya, Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG mengatur sebagai berikut :
“Pasal 45A
(1)
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili
perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh
Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.
(2) Perkara yang dikecualikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. putusan tentang praperadilan;
b.
perkara pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam
pidana denda;
c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa
keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah
yang bersangkutan.
(3) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat
formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan
tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.
(4) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum.
(5)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung”;
8.
Bahwa, frasa “perkara pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG tersebut, mempunyai peran utama
dan sangat menentukan hilangnya hak setiap orang (ic. Pemohon) yang didakwa
melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam Pasal 44 ayat (4) UU RI
No.23 / 2004 Tentang PKDRT, untuk mengajukan kasasi dalam mencari keadilan, yang
disebabkan oleh karena ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan;
9.
Bahwa, berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, yang dalam hal ini
adalah Pasal 244 KUHAP, mengatur sebagai berikut :
“Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas.”;
Bahwa, ketentuan ini merupakan pasal yang
selaras dengan hak Azasi/hak konstitusional untuk mendapatkan keadilan yang terkandung di dalam Pasal 28D
ayat (1) Undang Undang Dasar 1945;
10. Bahwa,
adanya frasa dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14
TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG tersebut, telah menimbulkan ketidakadilan, ketiadaan
manfaat, dan ketidakpastian hukum, dan juga membuat hak konstitusional Pemohon
sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
menjadi tidak ada;
11. Bahwa,
Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan :
”Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a.
perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.”
Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”
12.
Bahwa, berdasarkan Putusan Mahkamah
sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya,
berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
12.1. Adanya hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
12.2. Hak dan/atau
kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
12.3. Kerugian
konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
12.4. Adanya hubungan
sebab-akibat (causal verband)
antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
12.5.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;
Dengan demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus
dipenuhi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Bahwa berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, jelaslah
bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak
sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini, karena telah
memenuhi syarat, yakni : Syarat
pertama adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik
Indonesia, untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua
dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
dirugikan. Syarat ketiga,
kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian tersebut timbul akibat berlakunya
undang-undang yang dimohon. Syarat
kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau
permohonan ini dikabulkan.
13. Bahwa, sebagaimana
disampaikan di atas, Pemohon adalah Terdakwa dan telah divonis dalam
Perkara Pengadilan Tinggi Jakarta No.158/PID/2014/ PT.DKI jo.
No.150/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Sel namun tidak diperbolehkan mengajukan Kasasi, sehingga
merupakan “perorangan warga negara Indonesia” yang dirugikan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK. Oleh karena itu, Pemohon memiliki kualifikasi
sebagai Pemohon Pengujian Undang-undang.
14. Bahwa,
berdasarkan seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon adalah pihak yang mengalami
kerugian konstitusional akibat diberlakukannya Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan
Pengujian Undang-Undang ini;
III.
PERNYATAAN PEMBUKA
15. Bahwa, Pemohon di
Dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Bahwa ia Terdakwa DWI HERTANTY als ANTY pada
hari Selasa Tanggal 25 Juli 2013 sekitar jam 22.00 WIB. atau setidaknya pada
suatu waktu masih dalam bulan Juli 2013 bertempat di Giant Point Square Lebak
Bulus Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat masih dalam
Daerah Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yang dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Bahwa pada hari Selasa Tanggal 25 Juli 2013 sekitar jam 22.00 WIB.,
Terdakwa kebetulan ada di tempat tersebut yaitu di Giant Point Square Lebak
Bulus Jakarta Selatan dalam rangka ada yang mau Terdakwa beli di Apotek dan
tiba-tiba Terdakwa di hadang oleh Sdr. Rahman Rezky, Sdr. Irwan Riyadi dan Sdr.
Bambang Heru serta Security kemudian Sdr. Rahman Rezky, Sdr. Irwan Riyadi dan
Sdr. Bambang Heru langsung marah-marah dan berteriak-teriak terhadap Terdakwa
serta mau memukul Terdakwa di depan umum sambil mereka mengucapkan, “ kamu
kemana saja gak pulang-pulang, anak gak tau diri, kena pengaruh ajaran sesat,
penyembah berhala, dan Yesus kamu makan taik ”, kemudian Terdakwa di bawa ke
Pos Security dan di bawa masuk ke ruangan pos tersebut dengan ruangan dikunci
dan didalam ruangan hanya ada Terdakwa,
Sdr. Rahman Rezky, Sdr. Irwan Riyadi dan Sdr. Bambang Heru.
Kemudian Sdr. Irwan Riyadi memukul Terdakwa ke arah dahi dalam keadaan
tangan dikepal sambil mengatakan “kemana saja kamu selama ini” dan mengeluarkan
kata-kata kotor terhadap Tuhan dan Agama Terdakwa kemudian Sdr. Irwan Riyadi
melakukan pemukulan yang kedua ke dada sedangkan Sdr. Rahman Rezky memegangi
kedua tangan Terdakwa dari belakang sambil mendorong Terdakwa ke arah Sdr.
Irwan Riyadi kemudian Terdakwa berusaha untuk
melepaskan pegangan Sdr. Rahman Rezky tapi keras sekali pegangannya
hingga terdakwa menggigit tangan Sdr. Rahman Rezky agar melepaskan pegangannya
tapi pegangan Sdr. Rahman Rezky sangat keras kemudian Terdakwa mengembalikan
badan dengan tetap berusaha melepas pegangan Sdr. Rahman Rezky dengan cara
menggigit dada Sdr. Rahman Rezky karena gigitan Terdakwa menyebabkan Sdr.
Rahman Rezky mengakibatkan luka-luka bekas gigitan.
Bahwa benar akibat perbuatan Terdakwa DWI HERTANTY als ANTY korban Sdr.
Rahman Rezky mengalami ;
Hasil pemeriksaan :
-
Tampak
bematon pada regio thoraRegio Brachii kiri.
Kesimpulan :
-
Memar
pada dada kanan, dada kiri dan lengan atas kiri
-
Kelainan-kelainan
tersebut disebabkan oleh karena : Trauma tumpul.
Sesuai Visum Et Repertum dari RS Pusat
Pertamina yang ditandatangani oleh dr.
Adhika Putra pada tanggal 26 Juli 2013;
Perbuatan
Terdakwa diatur dan diancam dalam Pasal 44 ayat (4) UU RI No.23 / 2004 Tentang
PKDRT;
16. Bahwa, Judex Facti
tidak cermat mempelajari isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan tidak bisa menilai
bahwa seandainya Terdakwa (yang kecil mungil) tidak berusaha untuk melepaskan pegangan laki-laki berbadan besar
(bernama Rahman Rezky), Terdakwa (yang kecil mungil) akan mati dipukuli oleh
ketiga (3) orang laki-laki berbadan besar tersebut.
Oleh
karena pegangan laki-laki berbadan besar (bernama Rahman Rezky) sangat kuat
maka mau tidak mau Terdakwa (yang kecil mungil) harus mengeluarkan jurus wanita
yang lemah gemulai yaitu GIGI.
Bahwa
berdasarkan Pasal 49 (1) KUHP, yang berbunyi : “tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang
melawan hukum pada ketika itu juga;
17. Bahwa, Pemohon yang didakwa melakukan
perbuatan yang diatur dan diancam dalam Pasal 44 ayat (4) UU RI No.23 / 2004
Tentang PKDRT, yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan, telah di putus bersalah oleh pengadilan dimana putusan pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding menjatuhkan hukuman pidana 2 bulan terhadap Pemohon;
18. Bahwa, oleh karena adanya frasa “perkara pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, Pemohon tidak diperbolehkan
mengajukan kasasi sehingga telah menghambat hak Pemohon untuk mencari keadilan.
IV. ALASAN-ALASAN
PERMOHONAN PENGUJIAN PENGUJIAN PASAL 45A AYAT (2) b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
19. Bahwa, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, semua perkara pidana dapat diajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas;
20. Bahwa, dengan
demikian setiap orang dapat memperjuangkan keadilan bagi dirinya masing-masing
sampai tingkat pengadilan tertinggi sehingga setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
21. Bahwa, secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28D ayat (1),
menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, dimana
dinyatakan : ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
22. Bahwa, ketentuan sebelum diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, adalah ketentuan yang
diatur oleh KUHAP, dalam Pasal 244 dan Pasal 245, yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 244
Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon
kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama,
dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi
itu diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis
dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon,
dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima
permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun
yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain;
23. Bahwa, setelah adanya Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, maka hak setiap orang
untuk mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas, telah dibatasi, dicabut dan dihilangkan;
24. Bahwa, pembatasan yang dirasakan oleh Pemohon pada
saat ini disebabkan adanya frasa “perkara pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, sehingga ketidak adilan yang dialami oleh Pemohon
semakin mempertajam rasa ke tidak adilan tersebut;
25. Bahwa, perlu diketahui bahwa maksud diadakannya pembatasan terhadap perkara yang dapat
dimintakan kasasi kepada MA disebutkan dalam penjelasan resmi Undang-Undang
Nomor 05 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG, yaitu sebagai berikut :
“Pembatasan ini, disamping dimaksudkan untuk
mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke MA, sekaligus dimaksudkan
untuk mendorong peningkatan kwalitas putusan pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam
masyarakat”;
26. Bahwa, dari Penjelasan resmi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG tersebut, ada 2
(dua) alasan mengapa pembuatan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 membatasi perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada
MA melalui ketentuan
Pasal 45A ayat (2) huruf b, yaitu :
- Untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke MA;
- Untuk mendorong peningkatan kwalitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat;
27. Bahwa, maksud untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara
diajukan ke MA, sudah sangat jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang memberi hak konstitusi
kepada setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa, pembatasan dengan cara mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke
Mahkamah Agung telah membuat perbedaan hukum bagi warga Negara Indonesia yang terkena perkara pidana yang diancam lebih dari 1 (satu) tahun dengan warga Negara
Indonesia yang terkena perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Bahwa, perbedaan perlakuan dihadapan hukum ini,
telah melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
khususnya mengenai perlakuan yang sama di hadapan hukum
dan telah menghilangkan hak konstitusi dari warga
Negara Indonesia yang terkena perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
28.
Bahwa, pembentuk undang-undang
seyogyanya tidak melucuti atau mengebiri hak konstitusional dari seseorang,
khususnya WNI dan tidak membuat perbedaan hak
untuk mengajukan kasasi berdasarkan lamanya ancaman hukuman yang didakwakan
pada setiap orang;
29.
Bahwa, norma konstitusi dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 berhakekatkan hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh
manusia secara universal, termasuk di dalamnya Pemohon, sehingga adalah tidak
benar jika seseorang dilarang untuk mengajukan kasasi atas putusan yang didakwa
dengan ancaman pidana kurang dari 1 (satu) tahun;
30.
Bahwa, Pasal 45A
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG menimbulkan diskriminasi terhadap pencari keadilan,
khususnya bagi Pemohon untuk mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan yang
dirasakan tidak adil, hanya karena alasan berbeda ancaman hukuman dengan mereka
yang ancaman hukumannya lebih dari 1 (satu) tahun;
31. Bahwa, Pasal 28 I
ayat (2) UUD Negara RI 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” ;
32. Bahwa, mengukur substansi keadilan tidak hanya terletak pada
“berapa lama ancaman pidananya”, tapi lebih dari itu, yakni apakah putusan yang
diupaya hukumkan itu telah dijatuhkan berdasarkan kebenaran dan keadilan yang
sejati;
33. Bahwa, kecenderungan
setiap perkara diajukan ke MA adalah merupakan buah/dampak dari rendahnya
kwalitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding,
yang dibuat oleh hakim pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat
banding yang sudah barangtentu berkwalitas rendah pula.
Adalah tidak sepantasnya, akibat dari rendahnya kwalitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tingkat banding harus ditanggung oleh setiap orang dengan cara tidak
diperbolehkan mengajukan kasasi;
Apabila kwalitas putusan pengadilan tingkat pertama
dan pengadilan tingkat banding telah sesuai dengan nilai-nilai hukum dan
keadilan dalam masyarakat, maka kecenderungan setiap perkara diajukan ke MA
akan berkurang dengan sendirinya sehingga tidak diperlukan adanya pembatasan
seperti diatur dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN
1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
34.
Bahwa, sekali lagi- bahwa upaya
hukum (kasasi) untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya tidak boleh
digantungkan pada “kecenderungan” dan/atau
“berapa lama ancaman pidana yang didakwakan”, dengan demikian berapa
lama pun pidana yang diancamkan tidaklah dapat menghalangi seseorang untuk berjuang
mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya sampai ke tingkat peradilan tertinggi
(Mahkamah Agung);
35. Bahwa, maksud untuk mendorong peningkatan kwalitas putusan pengadilan
tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum
dan keadilan dalam masyarakat, harus ditempuh dengan cara membuat program
peningkatan kwalitas hakim yang mengadili sehingga kwalitas putusan pengadilan
tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding bisa sesuai dengan nilai-nilai
hukum dan keadilan dalam masyarakat dan yang pada akhir/ dengan sendirinya akan mengurangi kecenderungan setiap perkara
diajukan ke MA.
Bahwa, dalam perkara pidana yang dihadapi Pemohon,
kwalitas hakim yang mengadili sangatlah rendah sehingga kwalitas putusan
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sangat merugikan
Pemohon, dengan alasan sebagai berikut :
35.1. Bahwa, Judex Facti
sangat tidak memahami maksud dan tujuan dari dibuatnya UU RI No.23 / 2004
Tentang PKDRT yang merupakan ketentuan/peraturan utama yang dilanggar dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yang mana dalam
Pasal 1 telah dengan tegas disebutkan bahwa maksud dan tujuannya adalah
untuk melindungi seseorang terutama PEREMPUAN
(dalam hal ini Pemohon);
35.2. Bahwa, Judex Facti tidak mempelajari dengan cermat
isi dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum sebelum mengadili perkara yang dihadapi
Pemohon. Dalam dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum telah jelas disebutkan bahwa Pemohon telah disekap
dan dipukuli oleh 3 (tiga) orang laki-laki. Bila Judex Facti yang mengadili perkara
yang dihadapi Pemohon, mempunyai kwalitas sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, tentulah Judex
Facti tidak akan menghukum Pemohon
yang menjadi korban dalam penyekapan dan pemukulan yang dilakukan oleh 3 (tiga)
orang laki-laki.
35.3. Bahwa, Judex Facti tidak bisa memahami keadaan
mencekam pada malam terjadinya peristiwa yang dakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Pada malam kejadian tersebut, Pemohon disekap dan dipukuli oleh 3 (tiga) orang laki-laki,
yang tentunya akan mati bila tidak melakukan pembelaan diri. Naluri Pemohon
untuk bertahan hidup telah memaksa Pemohon untuk melakukan sesuatu agar tidak
mati pada malam hari itu juga.
35.4.
Bahwa, Judex Facti tidak
memahami fakta yang berkaitan dengan “hal-hal yang menyertai perbuatan,
yakni “alasan subyektif dan obyektif
yang mempengaruhi sikap bathin terdakwa”, sehingga telah mengakibatkan
judex facti tidak mempertimbangkan bahwa perbuatan Terdakwa ini adalah merupakan
tindakan Pembelaan darurat (Noodweer);
Bahwa berdasarkan
Pasal 49 (1) KUHP, yang berbunyi : “tidak
dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun
orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum
pada ketika itu juga;
a. Bahwa,
berkaitan dengan perkara pidana yang dihadapi ini, Pemohon memang wajib untuk
tidak menyakiti orang lain (menggigit), namun berdasarkan fakta-fakta yang ada,
Pemohon “terpaksa” dan “terdesak” memilih jalan itu untuk memenuhi
hak/kewajiban hukum dalam bentuk “menggigit”, dengan tujuan untuk menyelamatkan
dirinya. Bahwa hal ini selaras dengan
pendapat S.R.Sianturi dalam Buku Asas-asas
Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni Ahaem-Petehaem
Jakarta 1986, halaman 284, mengatakan :
“…….konkritnya, seseorang yang diserang sebenarnya tidak boleh menyakiti
apalagi sampai menghilangkan jiwa orang lain, walaupun orang lain itu adalah
penyerang. Tetapi dalam batas-batas tertentu seperti ditentukan dalam Pasal 49,
tidak dapat diharapkan bahwa seseorang manusia yang mampu membela diri, akan
berdiam diri saja. Sepanjang pembelaan itu layak menurut perhitungan, maka
pembelaan itu dibenarkan walaupun akan ternyata merugikan kepentingan
penyerang. Hanya anak-anak atau yang sangat lemah/sakit antara lain yang tidak
akan melakukan pembelaan fisik, dan tindakan berdiam diri atau mengaduh bukan
tindakan yang bertentangan dengan hukum” ;
b. Bahwa,
dengan demikian jelaslah bahwa andaikata ada tindakan “penggigitan”, hal itu
dilakukan bukan “dengan maksud” untuk “melakukan kekerasan fisik” terhadap
Saksi Korban, melainkan “dengan maksud” untuk menyelamatkan diri dari serangan,
pemukulan dan penganiayaan yang lebih fatal terhadap Pemohon;
35.5.
Bahwa, Judex Facti tidak menguasai jalannya
persidangan tindak pidana yang dihadapi Pemohon, sehingga membuat pertimbangan
hukum Judex Facti tidak berdasarkan/tidak sesuai dengan fakta hukum
persidangan, antara lain :
a. Bahwa, saksi Bambang
Heru Setiyanto dalam pemeriksaan dipersidangan, menerangkan dibawah sumpah
bahwa saksi ini tidak melihat Pemohon menggigit saksi Korban, namun dalam pertimbangan hukum
Judex Facti disebutkan bahwa “saksi Bambang Heru Setiyanto melihat Pemohon menggigit saksi Korban;
b. Bahwa, saksi bernama
Irwan Riyadi tidak bersedia hadir dipersidangan walaupun telah dipanggil oleh
Jaksa Penuntut Umum sebanyak dua (2) kali, namun dalam pertimbangan hukum
Judex Facti disebutkan bahwa “Irwan Riyadi hadir dipersidangan dan menerangkan dibawah
sumpah”
c. Bahwa, saksi korban bernama Rahman Rezky tidak pernah menyatakan telah
dipukul
oleh Pemohon, namun dalam pertimbangan hukum Judex Facti disebutkan bahwa “saksi Rahman Rezky
menyatakan telah dipukul oleh Pemohon”.;
36. Bahwa, apa yang dialami oleh Pemohon adalah adanya
putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding yang
kwalitasnya sangat rendah serta sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai hukum
dan keadilan dalam masyarakat
37. Bahwa, Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, merupakan pasal yang
memaksa Pemohon untuk menerima putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding yang tidak
berkwalitas dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam
masyarakat, sehingga merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia;
38. Bahwa,
ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 a
quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi telah melanggar prinsip
penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak
Pemohon. Dengan demikian, maka Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya
melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
39. Bahwa, sementara
itu, adanya frasa “perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG tersebut menimbulkan ketidakadilan,
ketidakmanfaatan, dan ketidakpastian. Oleh karena itu, frasa “perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” tersebut justru menimbulkan suatu keburukan (mudharat);
40. Bahwa, dengan demikian frasa “perkara pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, harus dinyatakan
tidak berlaku atau setidak-tidaknya ditunda penggunaannya sampai kwalitas putusan pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tingkat banding dapat ditingkatkan dan telah sesuai
dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat;
41. Bahwa, oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan
hukum yang berada di bawah UUD 1945 yang langsung atau tidak langsung membatasi
hak untuk mencari keadilan yang dijamin oleh Konstitusi tersebut atau memuat
hambatan bagi seseorang untuk mencari keadilan;
42. Bahwa, akibat adanya
frasa aquo dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, persoalan pencari keadilan menjadi carut marut, karena
masyarakat pada umumnya menggunakan KUHAP sebagai pedoman mencari keadilan
sementara lembaga peradilan menggunakan Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG tersebut;
43. Bahwa, sejauh yang Pemohon ketahui, Pasal 244 KUHAP
yang menyatakan bahwa Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas, belum pernah
dicabut atau dinyatakan tidak berlaku.
44. Bahwa, dilingkungan
lembaga
peradilan, Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG dianggap sebagai
Lex specialis derogate legi generalis, namun bagi masyarakat pada umumnya, yang
sudah sejak awal menggunakan Pasal 244 KUHAP, pada prinsipnya tetap menggunakan Pasal 244 KUHAP yang
telah lebih dulu lahir dari Pasal 45A ayat (2)
huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG
MAHKAMAH AGUNG, yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi;
45. Bahwa, Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, telah menimbulkan dualisme hukum
dan meniadakan Kepastian
Hukum ditengah masyarakat pencari keadilan karena ada 2 (dua) ketentuan undang
undang yang berbeda isinya;
46. Bahwa,
Ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang diciptakan oleh frasa “perkara pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG tersebut berakibat pada inkonstitusionalitas frasa aquo;
47. Bahwa, Untuk melihat
inkonstitusionalitas frasa “perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, patut
kita mempertimbangkan tujuan daripada hukum.
Tujuan
hukum adalah untuk mewujudkan keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan
kepastian (legal certainty). Sehingga, jika terdapat suatu ketentuan yang
menimbulkan ketidakadilan, ketidakmanfaatan, dan ketidakpastian, maka ketentuan
tersebut telah hilang rohnya karena tidak sesuai lagi dengan tujuan hukum;
48. Bahwa, seandainya Pasal 244 KUHAP pernah
dicabut/dinyatakan tidak berlaku atau dianggap sebagai Lex specialis
derogate legi generalis dilingkungan
lembaga peradilan, namun menurut pendapat Pemohon, Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG adalah pasal yang
melanggar Hak Azasi Manusia yang diatur dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
49. Bahwa, selain perbedaan aturan yang ada dalam Pasal 45A
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG dengan KUHAP, Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, tersebut juga bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
50. Bahwa, oleh
sebab itu, telah nyata adanya bahwa dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN
1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG sepanjang mengenai frasa “perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”, bertentangan dengan UUD Negara RI 1945, khususnya Pasal
28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945 sehingga harus dinyatakan oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya;
51. Bahwa,
akibat adanya frasa “perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, hak Pemohon untuk mengajukan kasasi yang sebelumnya diperbolehkan oleh
KUHAP yang telah sesuai dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945, menjadi
terhalang;
52. Bahwa, dari
keseluruhan uraian di atas, jelas bahwa ketentuan Pasal
45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG sepanjang mengenai
frasa “perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun” adalah bertentangan dengan UUD 1945, khusus ketentuan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sehingga harus dinyatakan oleh MK sebagai tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
53. Bahwa, berdasarkan hal-hal diatas, mengingat Pasal 63 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon
dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi, maka bersama
ini, Pemohon mohon perkenan Majelis Hakim Konstitusi untuk menerbitkan Penetapan, yang memerintahkan pada Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan untuk tidak menerbitkan Penetapan yang isinya menyatakan bahwa
permohonan kasasi Pemohon tidak dapat diterima, sampai dengan adanya putusan perkara
ini;
Bahwa, tujuan dari
permohonan Penetapan ini adalah untuk mencegah timbulnya kerumitan hukum
dikemudian hari apabila permohonan Pengujian Pasal
45A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG a quo dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi, sementara Pemohon telah mendekam dalam penjara sebagai
akibat diberlakukannya Pasal 45A ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14
TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
V.
PETITUM.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon memohon Yang Mulia Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi berkenan memberikan putusan sebagai berikut :
1.
Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan Pasal 45 A ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, sepanjang mengenai frasa “perkara pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun”, bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
3.
Menyatakan Pasal 45 A ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, sepanjang mengenai frasa “perkara pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun”, tidak mempunyai atau
memiliki kekuatan hukum mengikat;
4.
Menyatakan Pasal 45 A ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, menjadi selengkapnya berbunyi sebagai berikut
: “perkara
pidana yang diancam dengan pidana denda”;
5.
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Dan / atau
apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon :
Surya Bakti Batubara,SH.MM. Palti Hutagaol,SH. Robert Paruhum Siahaan,SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar