Danau Toba di Sumatera Utara adalah
danau kawah atau danau vulkanik terbesar di dunia. Pulau Samosir yang terdapat
di tengah-tengah Danau Toba memiliki luas yang hampir sama dengan negara
Singapura. Danau Toba yang mengelilingi Pulau Samosir, terletak di ketinggian
900 meter di atas permukaan laut, dengan panjang mencapai 87 kilometer dan
lebarnya 27 kilometer dengan kedalaman mencapai lebih dari 500 meter.
Pada awalnya Toba merupakan supervulkan
yaitu gunung berapi raksasa yang mampu menghasilkan letusan yang sangat
dahsyat. Danau ini terbentuk akibat satu atau beberapa letusan gunung berapi
yang luar biasa besar, yang menurut beberapa ilmuwan boleh jadi termasuk di
antara letusan terdahsyat dalam sejarah bumi. Letusan itu membuat kawah yang
luar biasa besar. Lambat laun, kawahnya yang sangat besar dipenuhi air dan
membentuk apa yang kita kenal sebagai Danau Toba.
Kemudian pergeseran lapisan bumi
membuat dasar danau naik dan membentuk Pulau Samosir yang sangat indah. Luas
Samosir sekitar 647 kilometer persegi yaitu hampir sama dengan luas negara
Singapura.
Dengan ketinggian hampir 1
kilometer di atas permukaan laut dan dikelilingi oleh deretan gunung berapi
yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan membuat Danau Toba begitu
sejuk dan indah. Banyak pohon enau dan pinus yang tumbuh subur di sekeliling
Danau Toba menambah keindahan danau ini.
Di sebelah utara Danau Toba masih
bisa dijumpai berbagai fauna yang menarik seperti lutung, orangutan, dan
beberapa jenis monyet. Sedangkan di bagian selatan Danau Toba terdapat fauna
yang berbeda jenis seperti monyet lingur, tapir, dan ingkir. Tentulah hal ini
juga unik karena danau ini seolah-olah berfungsi sebagai garis pemisah ekologi
fauna di sisi utara dan selatan Danau Toba.
Danau Toba dengan Pulau Samosir ditengahnya,
memang membuat pengalaman wisata yang benar-benar indah. Danau Toba memiliki keindahan
yang spektakuler, dahsyat dan menakjubkan, begitu indahnya dari sisi mana pun.
Penemuan Keramba Jaring Apung
pada awalnya dianggap suatu keberuntungan karena teknologinya sederhana, mudah
dibuat, dan berbiaya murah namun menghasilkan panen yang menguntungkan.
Sekarang, hampir semua permukaan Danau Toba dipenuhi sebaran Keramba Jaring
Apung (KJA).
KJA mulai diperkenalkan pada
masyarakat Danau Toba tahun 1996 di Desa Haranggaol. Pertumbuhan KJA di Danau
Toba sangat pesat, sehingga booming KJA telah berbalik menjadi boomerang karena
mulai disadari bahwa keberadaannya menurunkan kualitas lingkungan. Selain
merusak kualitas air sehingga fungsinya menurun, dari segi estetika keberadaan
Keramba Jaring Apung juga sangat merugikan. Daerah wisata yang tadinya diminati
pengunjung akhirnya menjadi sepi karena airnya berubah menjadi amis.
Masyarakat yang tinggal pada
permukiman-permukiman di sekitar lokasi keramba, tadinya memanfaatkan air danau
sebagai air bersih. Pencemaran perairan danau oleh limbah pakan ikan ini telah
menyebabkan air danau kurang atau tidak layak lagi dikonsumsi untuk air minum,
karena beberapa sifat kimia seperti pH, kandungan nitrat, nitrit, pospat,
sulfat, kalium, sifat fisik seperti bau dan rasa telah melebihi ambang batas
baku mutu air untuk air minum.
Makin luasnya ekspansi KJA di
permukaan Danau Toba menyebabkan masyarakat mulai merasa resah, karena walaupun
keramba mampu memberikan keuntungan dari segi ekonomi dan penyerapan tenaga
kerja tetapi disisi lain juga memberikan dampak yang sangat negative dari segi
kenyamanan, kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Keramba Jaring Apung (KJA)
merupakan duri dalam daging bagi upaya pengelolaan Danau Toba. Di satu sisi ada
yang mengklaim bahwa KJA menghasilkan PAD dan menyerap tenaga kerja yang cukup
signifikan. Di sisi lain ternyata KJA telah mendatangkan masalah besar bagi
lingkungan baik estetika maupun fisika dan kimia.
Di awal tahun 2015, Masyarakat
adat Batak di sekitar Danau Toba, melakukan aksi turun ke jalan, mendesak Presiden
Joko Widodo mencabut izin lima perusahaan yang dinilai merusak lingkungan hidup.
Sambil membawa nampan berisi kemenyan, masyarakat adat ini berjalan kaki dari
Lapangan Merdeka Medan menuju gedung DPRD Sumut, Medan.
Hasil rapat dengar pendapat,
antara anggota DPRD Sumatera Utara, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, perusahaan, serta masyarakat adat, mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi
kerusakan hutan dan lingkungan hidup yang cukup parah di kawasan Danau Toba.
Wagirin Arman, anggota DPRD Sumut
mengatakan, ekspos Jalin D’Toba, maupun dinas terkait terungkap, kerusakan
hutan dan lingkungan hidup di Toba, indikasi dampak aktivitas lima perusahaan. Perusahaan-perusahaan
itu adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Inalum, PT Aqua Farm Nusantara,
PT Allegrindo, PT Gorga Duma Sari, dan PT Simalem Resost.
Sutrisno Pangaribuan, Komisi A
DPRD Sumut, menambahkan, mereka akan audit kelapangan guna mengetahui penyebab
kerusakan. Untuk TPL, dia mendukung audit ulang dan peninjauan izin yang
akan diajukan ke pemerintah pusat. Selama investigasi, TPL diminta tak
menebang, sampai keputusan final DPRD Sumut.
Sedang Sarma Hutajulu, juga
anggota DPRD Sumut, menyatakan fakta yang disampaikan masyarakat dengan
pemerintah sangat berbeda.
Di Toba Samosir, katanya,
kualitas udara tercemar pabrik TPL. Di Toba, Aqua Farm membuang pakan ikan,
mengakibatkan air tercemar hingga kualitas buruk, bau, dan tidak layak minum.
Jauh di masa lalu, air Danau Toba bisa diminum.
Pemerintah menargetkan Danau Toba
masuk dalam geopark dunia oleh Unesco akhir September 2015. Namun, kondisi
lingkungan Danau Toba ini sudah rusak parah : penebangan hutan, pembakaran lahan menjadi
perkebunan sawit dan HTI yang mengubah hutan alam menjadi ekaliptus, Air Danau Toba
tercemar keramba jaring apung skala besar, penggunaan bahan kimia berbahaya,
eksploitasi galian C, cagar budaya hancur, bebatuan peninggalan sejarah digali
dan rusak, izin pengelolaan kayu (IPK) kepada PT GDS. Dampaknya, terjadi
kerusakan ekosistem di Toba.
Jika pemerintah tidak segera melakukan
langkah penyelamatan, mustahil target Kaldera Toba menjadi geopark dunia bisa terwujud.
Pemerintah harus berani
menetapkan Danau Toba kembali sebagai kawasan konservasi atau wisata alam,
mengembalikan Standar Kualitas Mutu air Danau Toba sebagai Air Minum dan
menghentikan semua kegiatan yang merusak dan mencemari danau.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) melakukan pengkajian terhadap kegiatan
budidaya ikan di Danau Toba. Kepala Balitbang KP Achmad Poernomo mengungkapkan
bahwa kegiatan budidaya ikan di Danau Toba sudah ‘over exploitation’ (3/3/2015).
"Untuk menjaga kelestarian
lingkungan dan demi mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat,
Balitbang KP merekomendasikan perlunya langkah moratorium dan rasionalisasi
pengelolaan KJA," katanya.
Hasil kajian Balitbang KP di
perairan Toba adalah keberadaan KJA sudah jauh melebihi daya dukung alamiahnya.
Produksi ikan budidaya melalui KJA pada 2012 mencapai 75.559 ton. Padahal, daya
dukungnya maksimal sekitar 50.000 ton. Artinya terjadi over produksi sekitar
25.500 ton atau kelebihan sekitar 51persen dari kapasitas daya dukungnya.
Kegiatan budidaya ikan yang berlebihan telah mencemari lingkungan, mengurangi
kualitas air, dan mengganggu keanekaragaman hayati di danau.
Menteri Koordinator bidang
Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menyatakan pihaknya bakal menuntut
sejumlah perusahaan perikanan yang beroperasi dan dinilai merusak ekosistem
perairan yang ada di danau Toba, Sumatra Utara.
"Kami kasih waktu satu tahun
untuk cabut. Kalau tidak bisa cabut baik-baik, maka akan kami tuntut
menggunakan Undang-Undang Lingkungan Hidup," kata Rizal di Jakarta, Jumat
(19/2/2016).
Menurut Rizal, di danau Toba saat
ini ada sekitar tiga perusahaan perikanan besar yang setiap bulan dikirimkan
ratusan ton bahan untuk pakan ikan, tetapi karena sekitar 20 persen bahan itu
tidak terpakai mengakibatkan kondisi danau menjadi beracun dan bau.
Penyelamatan kawasan Danau Toba dari kerusakan lingkungan hidup sudah harus dilakukan secara holistik. Pasalnya,
kerusakan dan pencemaran Danau Toba sudah sangat membahayakan.
Demikian ditegaskan Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan
saat memberikan ceramah pada acara Dialog Nasional Kebangsaan dan
penandatanganan Rencana Aksi Terpadu Penanganan Kawasan Danau Toba oleh
Gubernur Sumut dan 7 Kabupaten Kawasan Danau Toba di Grand Aston Hotel Medan,
Senin (25/7/2016).
“Tingkat pencemaran Danau Toba
itu sudah pada tingkat sangat membahayakan,” ujar Luhut.
Menurut Luhut, akan terjadi
paradoks jika pengembangan sektor pariwisata Danau Toba dilakukan tanpa
menanggulangi kerusakan lingkungan yang sudah mengakibatkan manusia terganggu.
Untuk itulah, ungkap Luhut,
sebelumnya ia telah menyampaikan kepada Bupati Simalungun JR Saragih
untuk lebih serius menertibkan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba. Luhut
bahkan menekankan, bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mengatur pemerintah.
“Tidak ada yang tidak bisa kita
sentuh. Kau lihatlah. Pengen tahu saya. Sepanjang itu melanggar perundangan dan
membuat ketidaknyamanan kepada rakyat, pasti kita tindak sesuai aturan. Jadi
saya tidak suka dibilang tidak bisa menyentuh, emangnya dia itu siapa? Emangnya
dia siapa? Tentu prosesnya ada, kita juga harus mentaati peraturan,” katanya.
Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya mengakui kerusakan lingkungan hidup di sekitar Danau Toba
sudah memprihatinkan sehingga kepala daerah di kawasan itu diminta meningkatkan
pengawasan.
"Kerusakan yang
memprihatinkan itu ditandai dengan adanya antara lain 5.600 keramba jaring
apung yang menghasilkan limbah organik tinggi," ujarnya di Tapanuli Utara
(Taput) Sumut, Jumat (29/7/2016).
Dia mengatakan itu pada acara
penanaman 7.700 pohon di area seluas 15 hektare di Hutan Ginjang Kecamatan
Muara, Taput. Lokasi penanaman itu merupakan kawasan hutan lindung dari bagian
wilayah kesatuan pengelolaan hutan lindung unit XVIII di Sumut.
Walaupun Pemerintah, Masyarakat
adat Batak di sekitar Danau Toba dan DPRD mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran air Danau Toba sudah sangat membahayakan/memprihatinkan namun semua
itu hanya dalam bentuk kata-kata, belum ada tindakan nyata untuk menyelamatkan Kawasan
Danau Toba sehingga tidak terjadi perubahan apapun di Kawasan Danau Toba.
Merupakan simalakama bagi Pemerintah
yang berada pada situasi serba salah untuk bertindak. Pemerintah telah
memberikan ijin kepada perusahaan perusak lingkungan hidup tersebut untuk beroperasi
di Kawasan Danau Toba. Apabila
Pemerintah menghentikan kegiatan bisnis perusahaan-perusahaan tersebut, sudah
barang tentu Pemerintah akan dituntut untuk membayar biaya ganti rugi yang
jumlahnya sangat besar.
Namun Pemerintah tentulah tidak
boleh memberikan biaya ganti rugi kepada perusahaan- perusahaan tersebut karena
mereka telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran air Danau Toba.
Seharusnya, perusahaan perusak lingkungan hidup tersebutlah yang harus membayar biaya
perbaikan lingkungan hidup yang telah mereka rusak.
Apabila Pemerintah menghentikan
operational dari perusahaan- perusahaan tersebut, dan bersedia untuk membayar
biaya ganti rugi kepada perusahaan perusak lingkungan hidup yang aktivitasnya dihentikan
maka Komisi Pemberantasan Korupsi haruslah membuka mata dan telinga
selebar-lebarnya untuk mengawasi proses negosiasinya.
Tim Litigasi YPDT telah melakukan
persiapan yang matang untuk menuntut perusahaan yang menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup dan pencemaran air Danau Toba dengan menggunakan Undang-Undang
Lingkungan Hidup.
Dalam pertemuan tanggal 3 Agustus 2016, yang di pimpin oleh Ketua Tim Litigasi YPDT Robert Paruhum Siahaan dan dihadiri oleh anggota Peris Tua Siagian, Deka Saputra Saragih, Renatus Reno Gulo, FX. Denny S. Aliandu dan Boy Tonggor Siahaan, Tim Litigasi Yayasan Pencinta Danau Toba telah membuat surat kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mendapatkan dukungan agar Tim Litigasi YPDT dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Apabila Pemerintah memang mempunyai
komitmen untuk meningkatkan kwalitas lingkungan hidup khususnya di Kawasan
Danau Toba, maka jalan terbaik yang harus ditempuh Pemerintah adalah mendukung
Tim Litigasi YPDT untuk menuntut perusahaan yang menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup dan pencemaran air Danau Toba sehingga Pemerintah tidak perlu
menanggung resiko apapun dan hasil kerja Tim Litigasi YPDT akan lebih maksimal.
Baca juga rencana aksi Pemerintah di bawah ini
Penghentian usaha budidaya keramba jaring apung (KJA) dengan kompensasi kepada pemilik KJA
Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba Tim Litigasi YPDT Yayasan Pencinta Danau Toba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar